Categories
Opini Story Of Mine

Tentang Lelaki di Masa Depan

kali ini postingannya gak ada sangkut pautnya dengan dunia komputer, ini merupakan hasil copy-paste dari note FaceBook-nya salah satu teman baik saya, Wahyu Awaludin namanya… yasudah langsung saja simak tulisan beliau mengenai laki-laki di masa depan, termasuk kah kita?? (para lelaki) atau inginkah kamu hidup dengan lelaki masa depan itu?? (bagi para wanita)….

Oleh: Wahyu Awaludin

Are you man enough?,” Jon Lipsey, Daily Star, September 15, 2005

Marian Salzman lahir di New York. Menghabiskan masa kecilnya di wilayah Bergen Country, New Jersey, dia kemudian melesat menjadi mahasiswa Sosiologi di Harvard. Kini, dia menjabat sebagai presiden Euro RSCG Worldwide PR cabang Amerika Utara. Selain itu, dia juga menjadi direktur Bob Woodruff Foundation, adviser Berlin School of Creative Leadership, dan anggota Brown University’s Women in Business.

Pada tahun 2005, Marian Salzman, bersama Ira Matathia, dan Ann O’Relly, menerbitkan sebuah buku yang kelak akan menggemparkan para lelaki: The Future Men. Tiga orang itu melakukan riset mendalam untuk menjawab pertanyaan, “seperti apa lelaki masa depan itu?”. Akhirnya, setelah melakukan penelitian yang melibatkan lebih dari 20.000 orang, buku itu menasbihkan bahwa lelaki masa depan adalah para lelaki uberseksual.

Apa itu lelaki uberseksual? Apakah mirip dengan homoseksual? Faktanya, tidak ada hubungan antara keduanya. Bahkan makna uberseksual lebih dekat dengan metroseksual. Seperti yang kita tahu, lelaki metorseksual adalah lelaki yang stylish. Mereka adalah pria yang mengikuti mode, rutin ke salon, dan rela menghabiskan ratusan ribu rupiah demi menjaga penampilannya agar tetap keren dan cool. Ngomong-ngomong, istilah metroseksual ini diciptakan juga oleh Marian Salzman, tetapi Salzman pula yang “membunuhnya”. Dia berkesimpulan bahwa era metroseksual sudah tamat. Kini, dan masa depan, adalah era para lelaki uberseksual.

Jadi, apa itu lelaki uberseksual? Istilah ini berasal dari bahasa Jerman “uber” yang berarti “segalanya, unggul, superior” dan bahasa Latin “sexus” yang artinya “gender”. Contoh penggunaan kata “uber” bisa kita lihat pada semboyan Hitler Deutchland uber alles (Jerman di atas segalanya). Berarti, arti lelaki uberseksual kurang lebih adalah “lelaki yang mempunyai karakter-karakter unggul dan superior”. Wordspy.com mendefisikan “uberseksual” sebagai “A heterosexual man who is masculine, confident, compassionate, and stylish.” Sedangkan Macmillan English Dictionary mendefinisikannya sebagai “a heterosexual male who is both confident and compassionate and has a strong interest in good causes and principles.”

“Lelaki uberseksual”, kata Marian Salzman, “Adalah pria yang menggunakan aspek positif maskulinitas, seperti kepercayaan diri, kepemimpinan, dan kepedulian terhadap orang lain di kehidupannya. Pria uberseksual sangat peduli pada nilai-nilai dan prinsip hidupnya. Pria jenis ini lebih memilih untuk memperkaya ilmu dan wawasannya di sela-sela waktu kosong yang ia miliki.”

“Dunia”, lanjutnya, “jauh lebih berharap kepada pria yang menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan mengikuti banyak pelatihan, mencermati perkembangan terakhir yang ada di dunia ini, dan menganalisis berbagai peristiwa daripada mereka yang sibuk berhura-hura, pergi ke salon, menata rambut, mempermak wajah, dan memperkaya aksesorisnya. Saat ini dunia membutuhkan seorang pria yang peduli akan lingkungannya, kepada permasalahan bangsanya, ketimbang pria yang menghabiskan uangnya untuk mempercantik kulitnya.” Pria uberseksual mengetahui mana yang baik dan buruk, dan berani mengambil keputusan tegas di tengah hujan kritik. Mereka juga mempunyai rasa percaya diri yang kuat, cerdas, tanpa kompromi, dinamis, maskulin, atraktif, stylish, serta memiliki komitmen kuat melakukan hal berkualitas di semua lini kehidupan.

Ya, mereka juga stylish. Salah jika kita mengira bahwa kesibukannya memikirkan umat manusia melalaikan dia dari merawat dirinya sendiri. Oleh karena itulah penulis mengungkapkan di atas bahwa uberseksual dekat dengan metroseksual. Namun, ada perbedaan yang mencolok antara keduanya. Ilustrasinya sebagai berikut. Bayangkanlah di pojok ruangan ada seorang lelaki metroseksual sedang berdiri di depan cermin. Sambil menyisir rambut dan menghisap rokok mahal, ia bersenandung, “aku adalah lelaki yang tak pernah lelah mencari wanita”, sementara di pojok lain ada lelaki uberseksual yang berbaju rapi sedang duduk di depan laptopnya. Ia sedang memantau berita-berita terbaru tentang perkembangan kasus korupsi di Indonesia, kemiskinan di Afrika, sekaligus memantau perkembangan bisnisnya. Wajahnya rileks tapi matanya memancarkan keseriusan. Sambil membaca artikel-artikel di website dengan tempo tinggi, mulutnya senantiasa menyenandungkan lagu berikut, “sekeping hati dibawa berlari, jauh melalui jalanan sepi.. jalan kebenaran indah terbentang di depan matamu para pejuang..”

Pria uberseksual adalah tipe “macho” dan “dewasa” dari pria metroseksual. Mereka menyisir rambut mereka dan memakai baju rapi, tetapi mereka juga menganggap persoalan korupsi di Indonesia jauh lebih penting dibanding sekadar meributkan baju mana yang cocok untuk hari ini. Jika pria metroseksual ingin menarik perhatian para wanita, pria uberseksual sangat menghormati wanita. Namun, uniknya, meskipun pria uberseksual memandang bahwa wanita adalah “saudara kandungnya”, mereka lebih memilih pria sebagai sahabat-sahabat terdekatnya. Jika pria metroseksual membelanjakan uangnya untuk ke salon atau bersenang-senang di mall, pria uberseksual menginvestasikan uangnya di bisnis, lembaga sosial, atau keagamaan. Jika pria metroseksual lebih nyaman berada di gym untuk membentuk ototnya, pria uberseksual lebih senang menjejakkan kakinya ke lumpur, berkutat dengan masalah erosi pantai. Jika pria metroseksual memperbincangkan masalah mode terbaru, pria uberseksual memperbincangkan masalah moral yang makin parah di bangsa ini. Jika pria metroseksual lebih memilih berhura-hura di akhir pekannya, pria uberseksual menyambangi perpustakaan untuk mengisi otaknya dengan berbagai wawasan.

Namun, walau mereka sekokoh karang dalam meyakini prinsip-prinsip hidupnya, mereka juga adalah pria-pria yang hangat dan tidak kaku. Mereka memang tidak menangis jika menonton sinetron-sinetron kacangan di TV atau ditolak oleh wanita yang dicintainya, tapi mereka akan menangis jika melihat ketidakadilan terjadi di mana-mana, atau sangat terharu jika ada bencana alam yang menghancurkan rumah-rumah penduduk yang miskin. Mereka begitu peduli dengan orangtuanya dan kawan-kawannya.

Menurut Salzman, salah satu contoh pria uberseksual saat ini adalah Bono U2. Pria yang bernama asli Paul David Hewson ini sungguh stylish, kaya, dan terkenal -lihat saja profesinya sebagai vokalis U2. Namun, ia tidak berhenti di situ. Ia berbuat untuk dunia. Ia memanfaatkan uang dan ketenarannya untuk membuat dunia jadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Ia mendirikan “DATA”, yang merupakan singkatan dari Debt, AIDS, Trade in Africa (Utang, AIDS, Perdagangan di Afrika). Fokus organisasi ini adalah membangkitkan kesadaran tentang apa yang diklaimnya sebagai utang Afrika yang tidak dapat dibayar, penyebaran AIDS yang tak terkendali, dan aturan-aturan perdagangan yang merugikan rakyat miskin benua itu. Bersama Rogan Gregory, Bono meluncurkan EDUN, merek yang sadar sosial. Ia pernah berpidato di acara pelantikan Paul Martin sebagai Perdana Menteri Kanada dan mendorong Kanada untuk ikut mengatasi krisis global. Ia mendampingi George W Bush dalam pidato di Gedung Putih tentang bantuan $5 milyar untuk negara-negara termiskin di dunia. Ia berperan besar dalam mengorganisasikan Live 8, sebuah 10 rangkaian konser di seluruh dunia untuk menggugah para pemimpin dunia menggelar pertemuan negara-negara industri Kelompok Delapan. John William Snow, mantan menteri Keuangan AS, pernah berkomentar tentang Bono di ABC This Week, “Saya mengagumi dia. Dia banyak berbuat baik dalam pembangunan ekonomi dunia ini”. Pada Desember 2005, ia terpilih oleh TIME sebagai Tokoh Tahun Ini, bersama-sama dengan Bill Gates dan istrinya, Melinda Gates. Pada Februari 2006, ia menjadi salah satu dari 150 kandidat penerima Nobel Perdamaian yang akhirnya anugerah itu diserahkan kepada Muhammad Yunus dengan Bank Grameennya.

Itulah kualitas seorang lelaki uberseksual. Mereka kaya dan memanfaatkan kekayaannya untuk kebaikan dunia. Mereka tenar dan memanfaatkan ketenarannya untuk mengajak orang lain untuk berbuat baik. Mereka cerdas dan memanfaatkan kecerdasannya untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan dunia. Mereka stylish dan rapi, tetapi tidak berlebihan. Mereka berhati hangat tetapi tidak cengeng. Mereka tidak hanya memikirkan penampilannya, keluarganya, atau bisnisnya, tetapi juga memikirkan bangsanya. Mereka memiliki mimpi-mimpi untuk dunia ini dan bekerja keras mewujudkannya. Itulah para lelaki uberseksual. Itulah para lelaki masa depan.

“Mereka…”, kata Marian Salzman, “adalah para lelaki yang ditunggu dunia.”

Referensi
http://wikipedia.org. Diakses pada 11 Februari 2010
http://spyword.com. Diakses pada 11 Februari 2010
http://macmillandictionaries.com. Diakses pada 11 Februari 2010
http://jalankenangan.net. Diakses pada 11 Februari 2010
http://wiktionary.org. Diakses pada 11 Februari 2010
http://stevie18181.blogspot.com. Diakses pada 11 Februari 2010

Data Penulis

Wahyu Awaludin adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia FIB UI angkatan 2008. Seorang penulis, blogger, dan sosok yang sedang menjalani proses menjadi lelaki uberseksual. Hobinya adalah membaca, menulis, berselancar di internet, dan berorganisasi. Pernah menjadi juara I lomba esai Simposium Internasional 3: Pendidikan Untuk Palestina, juara I lomba esai bertema Korupsi dan Pemuda dari BEM FH UI, juara II Wajah Muslim Indonesia Chapter III: Pahlawan di Mata Kita, juara III FUKI FAIR 2009 dengan tema Dakwah di Internet, juara III lomba esai UI Islamic Book Fair, dan lain-lain. Pendiri Forum Anak UI dan Indonesian Dreams Community ini foto-fotonya pernah dimuat di Republika dan esai-esainya juga pernah dimuat di Koran SINDO. Ia bisa dihubungi di no.HP 0856 9791 0069, di email wahyu.awaludin@gmail.com, di http://facebook.com/wahyu.awaludin1, atau di http://twitter.com/wahyuawaludin.

6 replies on “Tentang Lelaki di Masa Depan”

waw, bener banget..
gara2 tulisan ini ane jadi inget yg pernah ane baca tentang jenis2 pria yg jadi panutan dunia itu yg kaya gimana:
(sebelum 90an nggak inget)
90an, itu laki2 yang macho, mukanya ganteng, fisiknya berotot, dan atletis. Rambo, Rocky Balboa, Arnold Swarchnegger, Sylvester Stallone, David Hasselhof adalah ikon era ini.

2000an, itu eranya metroseksual. deskripsinya udah di atas. yg tajir, ganteng, merawat dirinya, pakaiannya selalu dandy, dsb. David Beckham, dan banyak artis2 Hollywood itu ikon era ini.

berarti 2010an, eranya uberseksual ya..

btw, link tulisan aslinya wahyu darimana don?

yoi bang… mungkin ini juga salah satu dampak dari krisis ekonomi yg sempet “menggoyang” sebagian besar negara di seluruh belahan dunia…

sehingga ni jenis laki-laki uberseksual seperti sebuah jawaban dari tantangan zaman yang semakin kesini semakin keras dan cuma laki2 berkarakter uberseksual yg diperkirakan bisa bertahan…. CMIIW

yap bener banget bro… sayang ini belum terlalu dibahas di koran atau media konvesional lain, padahal ini menurut saya luar biasa penting dan sangat bisa menginspirasi pemuda-pemuda di Indonesia seharusnya…

btw, makasih udah mampir… (drinking)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *