Categories
Opini

Nilai Kesadaran

Dikisahkan, seorang direktur eksekutif di sebuah perusahaan
multinasional berkisah tentang perjalanan kariernya. Saat masih muda,
aku bangga pada diriku sendiri yang pintar, lulus sekolah dengan
angka yang memuaskan dan bersikap angkuh pada orang-orang yang tidak
sepandai aku. Aku dulu egois sekali, mengejar karier secepat mungkin
tanpa mempertimbangkan perasaan orang-orang yang aku dahului. Yang
penting cepat sampai ke tujuan tanpa pernah menyadari bahwa
kepandaian dan caraku memenangkan perdebatan di meja rapat ternyata
menyakiti teman-teman dan seniorku sendiri. Yang penting dewan
direksi senang dan puas dengan hasil kerjaku, maka karierku pasti
akan meningkat dengan pesat begitu pula dengan gaji dan fasilitas
yang bakal ku terima. Yang lainnya aku tidak peduli. Sikapku yang
hanya mementingkan diri sendiri dan tidak merasa perlu
bersosialisasi, menyebabkan aku dijauhi teman dan ketika sadar, tiba-
tiba aku sendirian!

Saat kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk, tidak ada satu orang
teman pun yang menyapaku apalagi membantu. Ketika sakit, tidak ada
yang menanyakan keadaanku apalagi menjenguk. Hidupku begitu kering
dan kesepian. Hanya ada satu orang yang menyapaku dengan senyum yang
selalu merekah di bibirnya, yaitu si Udin, cleaning service merangkap
office boy di kantorku. Sosok pemuda kampung yang ramah dan siap
membantu.

Sapanya yang khas setiap bertemu, “Selamat pagi, siang, atau sore,
Pak.” “Mau tambah minum apa?” atau “Apa yang bisa saya Bantu, Pak?”
Meskipun pekerjaannya berat, menyiapkan segala properti untuk semua
orang di kantor, dia selalu ringan tangan menolong orang lain yang
bukan menjadi tugasnya sehingga dia sangat disukai oleh semua orang.
Bahkan saat tidak masuk kerja karena sakit, beberapa orang kantor
menyempatkan menengok dan mengumpulkan uang membantu Udin.

Diam-diam aku iri kepada udin dan marah kepada diriku sendiri. Iri
kepada Udin? Yang cuma cleaning service? Sungguh keterlaluan!
Kenyataan itu serasa menamparku dengan keras. Selama berhari-hari aku
merenung dan meneliti kembali tujuan hidupku. Apakah aku bahagia
dengan perolehan yang telah aku capai selama ini? Apakah ini tujuan
hidup yang aku inginkan? Dan banyak lagi pertanyaan yang menggantung
di benak ini. Sejak itu, aku sadar dan segera membuat rencana untuk
berusaha merubah diri menjadi lebih baik seperti yang aku inginkan.
Menjadi pribadi yang lebih menyenangkan bagi diri sendiri dan orang
lain. Perubahan demi perubahan positif pun terjadi. Sungguh luar
biasa. Kesadaranku muncul karena seorang Udin!

Pembaca yang budiman,

Pepatah bijak mengatakan “Setiap orang bisa menjadi guru bagi orang
lain” dan yang sering saya sharingkan, “Sebuah prestasi tanpa
dilandasi oleh kepribadian dan pikiran yang positif maka akan rapuh
dan mudah runtuh” adalah sangat tepat untuk menggambarkan kisah tadi.

Apalah artinya pintar jika hanya menyakiti orang lain, bahkan teman
sendiri? Karena sesungguhnya, pintar adalah berkah dari yang Kuasa.
Tetapi mampu mengelola kepintaran sehingga bermanfaat dan
membahagiakan bagi diri sendiri dan orang lain itu baru lah
kebijaksanaan.

Mari mengevaluasi diri sendiri, untuk selalu menghargai berkah yang
diberikan Tuhan kepada kita.

SUMBER: milis MQCC Depok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *